Ketika aku tahu bahwa langit itu berubah
menjadi gelap dan tak pernah cerah lagi, maka takkan ku ambil lembaran yang
telah terkoyak itu jika hanya irisan luka yang terbuka tanpa sengaja.
Oksigen murni diizinkan memasuki celah daun
jendela kamarku, tatkala ayam mulai berkokok riang. Tercium olehku aroma kopi
dari cangkir sapi milik ayahku juga suara dengkuran lembut di balik daun pintu
kamar kakakku. Samar-samar terdengar suara cipratan minyak goreng yang mulai
panas. Aku rasa mama sudah bangun dari tadi.
*****
Jalanan sepi. Angin mulai bertiup kencang. Langit
mulai berubah menjadi abu-abu. Kecepatan langkah kakiku mulai meningkat seiring
tetesan air yang sedikit demi sedikit turun. Aku melihat sebuah halte, akhirnya
lngkah kakiku memilih unuk berlari ke sana.
Basah, dingin, dan sepi. Hari yang menyebalkan
untukku. Padahal suguhan manis tadi pagi cukup membuatku senang untuk
melangkahkan kaki keluar rumah.
Took buku tinggal beberapa kios lagi, tapi karena
hujan deras ini, terpaksa aku harus merelakan waktuku untuk berdiam diri
mematung di halte ini. Aku menunduk, memainkan kaki kananku, lalu mengangkat
kepalaku ke arah kanan, aku segera menundukkan kepalaku. Dan saat itulah
suasana hatiku berubah, napasku tercekat, jantungku berdetak tak karuan. Laki-laki
berbaju coklat mengenakan trening itu berlari menyusulku di halte, lebih
tepatnya dia bernasib sama denganku, namun dia lebih parah dariku. Dia
meletakkan tasnya di sebelahku, mengibaskan rambutnya dan menghela napas
panjang.
“Hujannya menyebalkan ya, mbak. Aku kira matahari
hangat tadi pagi adalah pertanda baik. Ternyata hujan deras yang turun. Mbak
mau ke mana?” tanyanya.
Aku diam membisu, tak mau sampai dia mendengar
suaraku. Dadaku sesak, semakin sesak tatkala dia peduli terhadapku.
“Mbak, kenapa mbak?” dia bertanya lagi padaku.
Dadaku semakin sakit. Dan tiba-tiba laki-laki itu
telah berdiri depanku dan mengangkat daguku.
“Keiko?” wajah santainya berubah kaget, tapi
kembali tenang.
Lalu dia kembali duduk di sampingku, menghela
napas dan menerawang jauh. Aku masih saja terdiam, rasa sakit di hatiku semakin
melebar. Tak kusangka jika rasa itu masih, kukira tiga tahun berlalu akan
membuatku santai jika bertemu dengannya.
“Aku kaget, Kei. Ternyata kamu yang berdiri di
sini, menikmati hujan yang turun. Apa kabar, Kei?”
Aku belum mampu menjawab, masih terdiam dan
tercekat. Lalu darah di otakku mulai mendidih dan tak tertahan lagi.
“Mengapa kau menghilang, Kei? Apa salahku?”
tanyanya kepadaku.
“Kau ti…tidak menyadari a…apa yang te…telah kau
perbuat?” bentakku.
“Maksudmu, Kei?” dia berdiri menatapku, memegang
erat bahuku, membuat aku berdiri tepat di hadapannya.
“Tatsuke, a..apakah kau t..tak pernah sadar
sakitnya hatiku ini?” tanyaku balik dengan wajah memerah.
“Aku lebih terluka, Kei. Tiba-tiba kau
menghilang. Menjauhi diriku.”
“Kau mencintai wanita lain, Tatsu. Dan aku tak
sanggup, apalagi Reisa menemuiku dan memintaku untuk menjauhimu. Kau tahu
betapa sakitnya aku? Kau sahabat terbaikku, kau yang menemaniku selalu, tapi
saat kau sibuk dengan Reisa, kau lupakan segalanya tentang aku.”
“Kei, aku mencarimu.” Suara Tatsu mulai melemah.
“Reisa bukan pacarku. Dia anak dari teman ayahku, Pak Kanto. Pak Kanto
enyuruhku untuk menjaganya. Aku ingin menjelaskan semuanya padamu, tapi
tiba-tiba kau perlahan-lahan mulai menjauhkan dir. Kau sibuk dengan
urusan-urusanmu, selalu saja ada alas an darimu saatku mengajakmu jalan.”
Air mataku mulai turun lagi, semakin deras dan
tak terhentikan. Dia menarikku mendekatinya. “Menangislah, Kei.”
*****
Sejak hari itu, aku dan Tatsu selalu pergi
bersama. Hingga waktu itu tiba menghadang hariku. Ketika dingin yang menusuk
mulai menggeserkan rasa hangat yang ku rasakan. Di saat itulah aku menyadari
jika koyakan luka lama itu telah kembali hadir, tanpa ku pinta dia menelusup
melalui pori-pori dan seketika menghentakkan gelombang nadi yang tadinya
tertata apik.
Hari itu aku hendak pergi ke took buku, saat aku
sedang mengobrak-abrik lemari buku di sana, tiba-tiba aku bertabrakan dengan
seorang wanita.
“Kalau jalan, lihat-lihat dong, mbak. Jangan asal
tabrak aja.” Wanita itu memarahiku.
Aku tak perduli, lebih baik aku segera meminta
maaf dan berlalu darinya.
“Hei, mbak. Bukumu tertinggal.” Panggilnya kepadaku.
Aku berbalik dan dengan wajah terperangah dia
melihatku. Wajahnya berubah menjadi geram dan kesal.
“Keiko?” wanita itu tersenyum ke arahku.
“Iya, nama saya memang Keiko. Mbak kenal saya?”
“Saya Reisa, Kei. Kamu lupa?” Aku terkejut melihat
wanita itu.
“Oh ya, Kei. Mumpung sedang bertemu denganmu, aku
Cuma amu bilang. Malam ini ada acra pertunanganku dengan Tatsu. Dia sudah lama ngga bertemu kamu, jadi mumpung aku
ketemu kamu, aku mau bilang. Dating aja jam 7 ke Hotel Sedusia.” Tanpa sadar
aku segera membalikkan badan dan berlari. Aku tak perduli saat Reisa
memanggilku dan seluruh pengunjung toko memperhatikanku.
*****
Ku perhatikan meja tulisku. Mengapa lembaran terkoyak itu
tiba-tiba "nongol" di atas mejaku, menyibak semua luka lama yang
tersimpan? Mengapa harus sekarang? Lukanya luar biasa menyesakkan jiwa. Air
mataku mulai mengalir, semakin deras dan tak bisa dihentikkan, sesak, sakit di
dadaku.