Selasa, 24 April 2012

Cerpen : Dahulu

Ketika aku tahu bahwa langit itu berubah menjadi gelap dan tak pernah cerah lagi, maka takkan ku ambil lembaran yang telah terkoyak itu jika hanya irisan luka yang terbuka tanpa sengaja.

Oksigen murni diizinkan memasuki celah daun jendela kamarku, tatkala ayam mulai berkokok riang. Tercium olehku aroma kopi dari cangkir sapi milik ayahku juga suara dengkuran lembut di balik daun pintu kamar kakakku. Samar-samar terdengar suara cipratan minyak goreng yang mulai panas. Aku rasa mama sudah bangun dari tadi.
*****
Jalanan sepi. Angin mulai bertiup kencang. Langit mulai berubah menjadi abu-abu. Kecepatan langkah kakiku mulai meningkat seiring tetesan air yang sedikit demi sedikit turun. Aku melihat sebuah halte, akhirnya lngkah kakiku memilih unuk berlari ke sana.
Basah, dingin, dan sepi. Hari yang menyebalkan untukku. Padahal suguhan manis tadi pagi cukup membuatku senang untuk melangkahkan kaki keluar rumah.
Took buku tinggal beberapa kios lagi, tapi karena hujan deras ini, terpaksa aku harus merelakan waktuku untuk berdiam diri mematung di halte ini. Aku menunduk, memainkan kaki kananku, lalu mengangkat kepalaku ke arah kanan, aku segera menundukkan kepalaku. Dan saat itulah suasana hatiku berubah, napasku tercekat, jantungku berdetak tak karuan. Laki-laki berbaju coklat mengenakan trening itu berlari menyusulku di halte, lebih tepatnya dia bernasib sama denganku, namun dia lebih parah dariku. Dia meletakkan tasnya di sebelahku, mengibaskan rambutnya dan menghela napas panjang.
“Hujannya menyebalkan ya, mbak. Aku kira matahari hangat tadi pagi adalah pertanda baik. Ternyata hujan deras yang turun. Mbak mau ke mana?” tanyanya.
Aku diam membisu, tak mau sampai dia mendengar suaraku. Dadaku sesak, semakin sesak tatkala dia peduli terhadapku.
“Mbak, kenapa mbak?” dia bertanya lagi padaku.
Dadaku semakin sakit. Dan tiba-tiba laki-laki itu telah berdiri depanku dan mengangkat daguku.
“Keiko?” wajah santainya berubah kaget, tapi kembali tenang.
Lalu dia kembali duduk di sampingku, menghela napas dan menerawang jauh. Aku masih saja terdiam, rasa sakit di hatiku semakin melebar. Tak kusangka jika rasa itu masih, kukira tiga tahun berlalu akan membuatku santai jika bertemu dengannya.
“Aku kaget, Kei. Ternyata kamu yang berdiri di sini, menikmati hujan yang turun. Apa kabar, Kei?”
Aku belum mampu menjawab, masih terdiam dan tercekat. Lalu darah di otakku mulai mendidih dan tak tertahan lagi.
“Mengapa kau menghilang, Kei? Apa salahku?” tanyanya kepadaku.
“Kau ti…tidak menyadari a…apa yang te…telah kau perbuat?” bentakku.
“Maksudmu, Kei?” dia berdiri menatapku, memegang erat bahuku, membuat aku berdiri tepat di hadapannya.
“Tatsuke, a..apakah kau t..tak pernah sadar sakitnya hatiku ini?” tanyaku balik dengan wajah memerah.
“Aku lebih terluka, Kei. Tiba-tiba kau menghilang. Menjauhi diriku.”
“Kau mencintai wanita lain, Tatsu. Dan aku tak sanggup, apalagi Reisa menemuiku dan memintaku untuk menjauhimu. Kau tahu betapa sakitnya aku? Kau sahabat terbaikku, kau yang menemaniku selalu, tapi saat kau sibuk dengan Reisa, kau lupakan segalanya tentang aku.”
“Kei, aku mencarimu.” Suara Tatsu mulai melemah. “Reisa bukan pacarku. Dia anak dari teman ayahku, Pak Kanto. Pak Kanto enyuruhku untuk menjaganya. Aku ingin menjelaskan semuanya padamu, tapi tiba-tiba kau perlahan-lahan mulai menjauhkan dir. Kau sibuk dengan urusan-urusanmu, selalu saja ada alas an darimu saatku mengajakmu jalan.”
Air mataku mulai turun lagi, semakin deras dan tak terhentikan. Dia menarikku mendekatinya. “Menangislah, Kei.”
*****
Sejak hari itu, aku dan Tatsu selalu pergi bersama. Hingga waktu itu tiba menghadang hariku. Ketika dingin yang menusuk mulai menggeserkan rasa hangat yang ku rasakan. Di saat itulah aku menyadari jika koyakan luka lama itu telah kembali hadir, tanpa ku pinta dia menelusup melalui pori-pori dan seketika menghentakkan gelombang nadi yang tadinya tertata apik.
Hari itu aku hendak pergi ke took buku, saat aku sedang mengobrak-abrik lemari buku di sana, tiba-tiba aku bertabrakan dengan seorang wanita.
“Kalau jalan, lihat-lihat dong, mbak. Jangan asal tabrak aja.” Wanita itu memarahiku.
Aku tak perduli, lebih baik aku segera meminta maaf dan berlalu darinya.
“Hei, mbak. Bukumu tertinggal.” Panggilnya kepadaku.
Aku berbalik dan dengan wajah terperangah dia melihatku. Wajahnya berubah menjadi geram dan kesal.
“Keiko?” wanita itu tersenyum ke arahku.
“Iya, nama saya memang Keiko. Mbak kenal saya?”
“Saya Reisa, Kei. Kamu lupa?” Aku terkejut melihat wanita itu.
“Oh ya, Kei. Mumpung sedang bertemu denganmu, aku Cuma amu bilang. Malam ini ada acra pertunanganku dengan Tatsu. Dia sudah lama ngga bertemu kamu, jadi mumpung aku ketemu kamu, aku mau bilang. Dating aja jam 7 ke Hotel Sedusia.” Tanpa sadar aku segera membalikkan badan dan berlari. Aku tak perduli saat Reisa memanggilku dan seluruh pengunjung toko memperhatikanku.
*****
Ku perhatikan meja tulisku. Mengapa lembaran terkoyak itu tiba-tiba "nongol" di atas mejaku, menyibak semua luka lama yang tersimpan? Mengapa harus sekarang? Lukanya luar biasa menyesakkan jiwa. Air mataku mulai mengalir, semakin deras dan tak bisa dihentikkan, sesak, sakit di dadaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar